Jakarta - Kandidat calon gubernur Jakarta, Anies Baswedan dinilai punya keunggulan dibanding kandidat non-petahana lainnya. Anies bahkan dinilai bisa mengalahkan petahana bila bisa memanfaatkan hal di bawah ini.
"Sementara Anies Baswedan dikenal sebagai intelektual unggul yang juga secara kapasitas tidak diragukan. Popularitas Anies juga lumayan, karena ia sudah lama dikenal publik," kata Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Zaenal A Budiyono, dalam paparannya, Kamis (22/9/2016).
Dibanding kandidat non-petahana lain, yakni Yusril Ihza Mahendra, Anies dinilai masih lebih unggul. Memang mereka berdua sama-sama punya kekuatan intelektual. Namun Yusril dinilai rendah dalam hal penerimaan masyaraskat (akseptabilitas) maupun keterpilihan. Soalnya, partai yang dipimpin Yusril saja terbukti tak lolos ambang batas pemilu.
"Yusril dengan latar belakang dan kapasitasnya sepertinya tak akan sulit meladeni Ahok saat debat kandidat mendatang. Kekurangan Yusril hanya pada akseptabilitas dan elektabilitas di publik yang masih kurang yang terindikasi dari kegagalan partainya menembus electoral treshold dalam beberapa kali pemilu terakhir," kata Zaenal.
Dari sisi itu, Anies sudah unggul. Perlu apalagi? Anies masih perlu membenahi citranya di mata publik sebagai 'menteri yang didepak Jokowi'. Namun kekurangan ini justru bisa menjadi pijakan Anies untuk melompat lebih tinggi. Tinggal olah saja citra Anies sebagai menteri yang terdepak bukan karena kinerjanya, namun karena hal lain di luar itu.
"Politik adalah soal persepsi. Bila Anies bisa mengolah kekurangannya sedemikian rupa, bisa jadi momen dirinya terlemparnya dari kabinet justru menjadi keuntungan. Ini merujuk teori bahwa pemilih di Indonesia masih menyukai orang-orang yang terzalimi. Apa yang pernah dialami SBY dan Jokowi juga masih meneguhkan teori ini berlaku," kata Zaenal.
Syarat selanjutnya agar Anies sukses menaklukkan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pilgub DKI 2017 yakni partai-partai koalisi kekeluargaan harus bersatu mendukung Anies, atau siapapun pula yang diusungnya. Dengan demikian, kepercayaan diri calon yang diusung bakal penuh dan kuat secara psikologis. Jangan sampai ada tiga pasang calon gara-gara koalisi non-Ahok itu tak mencapai kata sepakat.
"Bila gagal, dan Pilkada diikuti tiga pasangan, peluang menang Ahok – Djarot makin besar karena suara akan terpecah. Selain itu pasangan calon yang maju Pilkada dengan dukungan terbatas (pas-pasan) secara psikologi merasa inferior dan membuatnya sulit melakukan 'serangan politik yang akurat' ke incumbent," kata Zaenal.
Calon penantang Ahok bisa menang, asalkan syarat yang satu ini juga dilengkapi. Syarat ini tak kalah penting, yakni menyediakan program jitu bagi Jakarta yang bisa menandingi program Ahok-Djarot.
"Satu-satunya cara untuk melawan incumbent adalah dengan menemukan celah-celah kelemahan kebijakan petahana dan menawarkan solusi alternatif yang lebih baik," kata dia.
Siapapun yang akan menantang Ahok dan berniat menang di Pilgub DKI 2017 harus bisa menangkap keresahan calon pemilih. Bukan mustahil bila calon non-petahana bisa mengalahkan petahana. Hal seperti itu bukan jarang terjadi.
"Tak jarang calon yang awalnya inferior, tiba-tiba menyalip di tikungan bila bisa memanfaatkan momentum dan mampu menangkap keresahan voters. Namun di atas semuanya, track record dan program kerja calon tetap yang utama sebagai "jualan" di masyarakat," kata Zaenal.
Sumber : detik.com
No comments:
Post a Comment