Liputan6.com, Malang - Sebuah becak terparkir di pelataran rumah berdinding bambu di Jalan Tanjung Putra Yudha I Kota Malang, Jawa Timur. Penghuni rumah sangat sederhana itu adalah Ratemat Abu, seorang penarik becak.
Di sebelah rumahnya, hanya disekat dinding bambu juga ada bangunan sederhana yang ukurannya sedikit lebih luas. Pagi itu, belasan anak-anak baik yang masih TK maupun duduk di sekolah dasar (SD) asyik belajar didampingi sejumlah muda-mudi.
Sekelompok pemuda itu mendampingi anak-anak belajar sejak dua bulan lalu. Dahulu, Abu sendiri yang mengajari bocah-bocah tersebut, terutama saat malam hari. Ia rela membagi waktu menarik becak dan mengajari anak kampung penampungan itu."Anak-anak itu belajar bersama tiap minggu, mulai pukul 09.00-12.00. Sebagian besar anak kampung ini juga," kata Abu di Malang, Jawa Timur, Minggu, 24 Juli 2016.
Disebut kampung penampungan lantaran mayoritas warganya bekerja sebagai pemulung dan pengepul sampah.
"Anak-anak yang belajar itu semua masih sekolah, tapi mereka juga sambil cari uang sebagai pengamen dan pemulung sepulang sekolah," ujar pria berusia 77 tahun itu.
Abu ibarat kakek sekaligus guru bagi anak-anak itu. Sudah sejak 2014, dia membantu anak-anak itu belajar. Semua berawal saat Abu berpapasan dengan seorang anak yang pulang dengan menangis.
Bocah itu mengaku disuruh pulang oleh gurunya lantaran tak mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan sekolah. "Hati saya terenyuh. Anak itu kemudian saya suruh datang ke rumah malam hari kalau mau mengerjakan PR sekolah," tutur dia.
Akhirnya, aktivitas Abu pun bertambah. Saat siang hari ia mengayuh becak demi ekonomi dan malam hari menjadi guru bagi anak–anak itu.
Semua dilakukan tanpa memungut biaya sepeser pun. Lambat laun, sejumlah anak lainnya ikut belajar di rumah yang dikontrak Abu Rp 200 ribu per bulan itu.
Saat mengajar, ia juga lebih memprioritaskan pelajaran agama, sejarah, dan matematika. Alasannya, karena agama dan sejarah dinilai sangat penting bagi pendidikan dasar para bocah itu.
Metode belajar yang diterapkan Abu pun lebih banyak bercerita, sehingga membuat anak–anak lebih betah belajar.
"Pendidikan agama dan sejarah itu penting dikenalkan sejak dini. Saya ingin mereka cerdas, bukan sekadar pintar. Banyak orang pintar yang korupsi," ungkap Abu yang lulusan sekolah pamong, sekolah peninggalan kolonial Belanda.
Ia setiap hari mangkal menarik becak di depan kantor Kwarcab Pramuka di kawasan Pasar Splendid, Malang. Pendapatan dari pekerjaan itu rata–rata hanya sebesar Rp 30 ribu-50 ribu. Di gedung pramuka itu, banyak mahasiswa hilir mudik untuk kegiatan kuliah. Banyak di antara mereka yang menawarkan diri membantu mengajari para bocah itu.
"Sampai sekarang sudah ada empat kali kelompok mahasiswa yang keluar masuk. Pernah satu di antara mereka ada yang saya minta berhenti karena metode belajarnya terlalu bergaya kampus yang kaku," urai pria kelahiran Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, itu.
Sampai saat ini ada sekitar 40 anak yang belajar di rumah Abu. Aktivitas ini memantik kepedulian dari banyak pegiat sosial. Salah satunya dari Komunitas Dulur Never End (DNE).
Komunitas yang awalnya fokus pada bakti sosial itu turut membantu di Rumah Belajar Abu ini. Mereka mendonasikan berbagai perlengkapan belajar hingga membiayai rumah kontrakan yang dijadikan anak–anak itu belajar sekarang ini.
Seperti disampaikan juru bicara komunitas DNE, Ryan.
"Kami baru dua bulan masuk sini. Dulu mereka belajar ya di depan pelataran rumah Pak Abu. Tapi sekarang sudah ada tempat, kami bantu mengontrak tempat ini," ucap Ryan.
No comments:
Post a Comment